GADIS KECIL
YANG BANDEL
Oleh
: Ditamas Yoga Pratiwi
Pagi
yang begitu dingin membuatnya enggan membuka mata untuk beranjak dari tempat
tidur dan selimut tebal yang membuatnya begitu hangat. Sang Matahari tak
menyapanya pagi ini, sebagai gantinya gumpalan awan gelap menyelimuti langit di
pagi yang indah ini. Suatu pertanda kalau hari ini akan datang hujan sepanjang
hari. Hufftt… Hal yang paling dia benci. Karena hujan membuat langit menjadi
mendung sehingga dia tak dapat melihat indahnya sinar mentari di pagi hari. Tak
bisa bermain sepuasnya bersama teman-temannya. Lama dia termenung dalam kamar.
Saat
itu, umurnya baru 9 tahun. Namanya Iret. Dia tumbuh menjadi seorang gadis kecil
yang selalu ingin tahu. Karena rasa ingin tahunya yang begitu tinggi, bisa
dikatakan dia adalah anak yang bandel dan susah diatur. Hal ini wajar, karena
teman-temannya pun berkelakuan lebih parah dari Iret. Mungkin, mereka hanya
kurang diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Orang tua mereka sibuk dengan
dagangan mereka, gabah-gabah, dan tanaman yang “lebih” perlu diperhatikan
ketimbang anak-anak mereka. Ya, semenjak Iret pindah ke desa di daerah Purbalingga
ini, keadaannya memang sedikit lebih ekstrim dari pada di Semarang. Anak-anak
di sekitar tempat tinggalnya kini, berkelakuan lebih buruk dari yang dulu.
Alhasil ia tidak punya pilihan lain. Dia hanya mempunyai segelintir teman
kecil, yaitu Ariy, Sinta, dan Ayu.
“Iret….
Bangun! Hari sudah siang.” Ucap ibu Iret
“Hm..
Masih pagi bu… (sambil menarik selimutnya kembali)” jawab Iret
Hari
ini adalah hari minggu, jadi menurutnya hari itu adalah hari bebas untuk bangun
kapan saja. Hari minggu adalah hari tanpa tugas, tanpa beban, hari untuk
bermain sepuas hati, dan hari untuk bersenang-senang. Hari penuh ekspresi, dan hari
yang ceria.
Setelah
lama dia terdiam dikamar, akhirnya ia bangun karena teringat untuk bermain
bersama teman-temannya. Gumpalan awan gelap mulai memudar. Matahari mulai
menampakkan dirinya. Ada rasa bahagia di hatinya. Bermain bersama teman-teman
untuk mengisi hari minggu ini.
“Hey,
Ari, Sinta, Lia, ikutan main donk…”, pinta Iret.
Ternyata
mereka sedang bermain kejar-kejaran.
“Sini
ret.. Gabung aja…”, jawab Ariy.
Setelah
lama bermain kejar-kejaran, Iret merasa bosan, dan mengajak teman-temannya
untuk bermain di tempat lain, yaitu di sungai. Mereka dengan bahagianya bermain
di sungai.
Yapz,
bermain di alam bebas adalah kesukaan mereka. Mereka sering bermain di sawah
sepulang sekolah tanpa seizin orang tuanya. Sehingga terkadang membuat orang
tua Iret khawatir dan kewalahan mencarinya. Dia heran, kenapa hanya orang
tuanya saja yang kelimpungan mencari anaknya.
Mereka
juga sering bermain di sungai, walaupun Ibunya Iret melarangnya. Setelah
bermain di sungai, biasanya mereka merasa lapar, sehingga mereka berinisiatif
mencari makanan. Entah kenapa, mereka lebih memilih untuk mencari makanan
sendiri di alam bebas, daripada memilih untuk makan di rumah walaupun orang tua
mereka sudah menyediakannnya di rumah.
Saat
itu, Sinta mempunyai ide untuk memetik jambu di pekarangan Bu Tukinah. Tentu
saja setelah mendapat izin darinya. Seperti biasa, mereka memanjat dengan
lihai. Karena, memanjat bukan hal baru lagi bagi mereka, juga bukan hal yang
tak asing bagi mereka. Karena, tanpa bisa memanjat itu namanya bukan Iret yang
sesungguhnya.
Mereka
gerakkan kaki mereka dengan lincah pada batang pohon jambu milik Bu Tukinah.
Setelah sampai di atas pohon, mereka mulai memetik jambu-jambu itu. Karena
pohon jambunya cukup besar, jadi mereka menikmatinya dengan duduk di atas pohon
jambu. Ketika Iret dan teman-temannya sudah mulai menikmati sensasi rasa jambu
milik Bu Tukinah, tiba-tiba Ayah Iret datang. Dengan langkahnya yang cepat, dan
mukanya yang menyeramkan. Terlihat di tangan kanannya membawa golok yang sangat
tajam. Kemudian Ayah Iret memarahinya dari bawah sana. Mereka pun ketakutan.
Dan, Iret pun turun dari atas pohon dan langsung berlari ke dalam rumah. Ari,
Ayu, dan Shinta juga lari terbirit-birit sambil membawa jambu-jambu yang telah
dipetiknya tadi.
Ayah
Iret memang terkenal galak. Badannya hitam. Kumisnya yang tebal mendukung muka
galaknya. Sementara itu, Iret juga sangat bandel. Walaupun sudah dilarang untuk
memanjat pohon, tetapi Iret tetap melakukannya.
Keesokan
harinya, seperti biasa setelah pulang sekolah, Iret, Ayu, Shinta, dan Ariy
memulai petualangan mereka. Kali ini mereka pergi ke sawah. Di sawah, mereka
hanya berjalan-jalan seperti “bolang” dan mereka juga mencari capung di sana.
Sawahnya luas, dan dekat dengan sekolahan mereka. Di sana, mereka duduk sejenak
di pinggir sawah untuk menikmati indahnya pemandangan. Hamparan sawah melegakan
pikiran mereka, setelah pulang dari sekolah. Menurutnya, sekolah adalah tempat
yang menyebalkan, tempat yang penat, dan seperti penjara yang terikat oleh
banyaknya peraturan. Terkadang, bel istirahat dan bel pulang sekolah merupakan
panggilan kebahagiaan untuk mereka, karena saat itu mereka bisa bermain dengan
sepuasnya dan bisa mengekpresikan diri mereka. Bahagia dan lega yang mereka
rasakan ketika mendengar suara bel istirahat dan bel pulang.
Padi-padi
sudah menguning, dan sebentar lagi akan dipanen. Burung gereja banyak terlihat
beterbangan di angkasa. Mereka terbang dengan lucu dan unik. Di sela-sela
menikmati pemandangan, mereka juga menghayal tentang masa depan mereka. Mereka
bercerita tentang cita-cita dan juga tentang pelajaran matematika yang sangat
rumit untuk dipahami.
Setelah
sore, mereka berencana untuk memetik mangga milik orang tua Ayu. Kebetulan
pohon mangga itu terletak di atas kolam ikan. Dan, mereka memanjat dengan penuh
semangat.
“Ayu,
kamu duluan ya, yang manjat. Aku terakhiran aja.”, ucap Iret.
“Oke…
J”,
jawab Ayu.
Batang
pohon mangga itu sangat licin. Memang, Iret sembunyi-sembunyi untuk memanjat
pohon, agar tidak ketahuan oleh Ayahnya. Kalau Iret ketahuan memanjat pohon
lagi, mungkin Iret akan dijadikan lauk untuk makan malam oleh Ayahnya.
Tiba-tiba terdengar suara,
“Prak…………………………”
Ternyata
Iret terpeleset. Semua mata teman-temannya tertuju pada Iret. Karena kurang
hati-hati memanjat pohon, Iret terpeleset dan masuk ke kolam ikan. Teman-temannya
langsung turun dan menolong Iret. Badannya berbau amis semua dan tangannya
tertusuk sirip ikan. Memang, kolam ikan itu terletak di bawah persis pohon
mangga, dan kebetulan ikannya besar-besar, hingga tangan Iret bedarah.
Dia
merasa sangat kesakitan. Terlihat, air matanya keluar dari mata kecilnya.
Bajunya basah. Tubuhnya kedinginan. Bajunya kotor. Dia terus menahan rasa perih
itu. Teman-temannya kebingungan, dengan apa yang harus mereka perbuat.
Iret
tidak berani langsung pulang. Akhirnya Iret mandi di rumah Ariy dan ia langsung
mencuci baju yang tadi ia kenakan. Iret memakai baju Ayu. Dan Iret sangat takut.
Karena, jika Iret pulang Iret pasti langsung dimarahi Ibunya. Apalagi, Iret
teringat dengan Ayahnya yang super duper galak. Keadaan ini membuat Iret
semakin bingung dan galau.
Akhirnya,
Iret memberanikan diri untuk pulang pada waktu maghrib. Iret kemudian berterus
terang kepada ibunya tentang apa yang telah terjadi pada dirinya. Sejak saat
itu, Iret meminta maaf kepada ibunya dan akan menuruti segala apa yang akan
diperintah oleh ibunya. Iret berjanji, tidak bandel lagi tidak lagi melakukan
hal-hal yang membahayakan dirinya. Dan gadis kecil itu akan berpikir berulang
kali jika diperintah untuk memanjat pohon lagi. J