Kamis, 22 November 2012

Cerpen Gue



GADIS KECIL
YANG BANDEL
Oleh : Ditamas Yoga Pratiwi






Pagi yang begitu dingin membuatnya enggan membuka mata untuk beranjak dari tempat tidur dan selimut tebal yang membuatnya begitu hangat. Sang Matahari tak menyapanya pagi ini, sebagai gantinya gumpalan awan gelap menyelimuti langit di pagi yang indah ini. Suatu pertanda kalau hari ini akan datang hujan sepanjang hari. Hufftt… Hal yang paling dia benci. Karena hujan membuat langit menjadi mendung sehingga dia tak dapat melihat indahnya sinar mentari di pagi hari. Tak bisa bermain sepuasnya bersama teman-temannya. Lama dia termenung dalam kamar.
Saat itu, umurnya baru 9 tahun. Namanya Iret. Dia tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang selalu ingin tahu. Karena rasa ingin tahunya yang begitu tinggi, bisa dikatakan dia adalah anak yang bandel dan susah diatur. Hal ini wajar, karena teman-temannya pun berkelakuan lebih parah dari Iret. Mungkin, mereka hanya kurang diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Orang tua mereka sibuk dengan dagangan mereka, gabah-gabah, dan tanaman yang “lebih” perlu diperhatikan ketimbang anak-anak mereka. Ya, semenjak Iret pindah ke desa di daerah Purbalingga ini, keadaannya memang sedikit lebih ekstrim dari pada di Semarang. Anak-anak di sekitar tempat tinggalnya kini, berkelakuan lebih buruk dari yang dulu. Alhasil ia tidak punya pilihan lain. Dia hanya mempunyai segelintir teman kecil, yaitu Ariy, Sinta, dan Ayu.
“Iret…. Bangun! Hari sudah siang.” Ucap ibu Iret
“Hm.. Masih pagi bu… (sambil menarik selimutnya kembali)” jawab Iret
Hari ini adalah hari minggu, jadi menurutnya hari itu adalah hari bebas untuk bangun kapan saja. Hari minggu adalah hari tanpa tugas, tanpa beban, hari untuk bermain sepuas hati, dan hari untuk bersenang-senang. Hari penuh ekspresi, dan hari yang ceria.
Setelah lama dia terdiam dikamar, akhirnya ia bangun karena teringat untuk bermain bersama teman-temannya. Gumpalan awan gelap mulai memudar. Matahari mulai menampakkan dirinya. Ada rasa bahagia di hatinya. Bermain bersama teman-teman untuk mengisi hari minggu ini.
“Hey, Ari, Sinta, Lia, ikutan main donk…”, pinta Iret.
Ternyata mereka sedang bermain kejar-kejaran.
“Sini ret.. Gabung aja…”, jawab Ariy.
Setelah lama bermain kejar-kejaran, Iret merasa bosan, dan mengajak teman-temannya untuk bermain di tempat lain, yaitu di sungai. Mereka dengan bahagianya bermain di sungai.
Yapz, bermain di alam bebas adalah kesukaan mereka. Mereka sering bermain di sawah sepulang sekolah tanpa seizin orang tuanya. Sehingga terkadang membuat orang tua Iret khawatir dan kewalahan mencarinya. Dia heran, kenapa hanya orang tuanya saja yang kelimpungan mencari anaknya.
Mereka juga sering bermain di sungai, walaupun Ibunya Iret melarangnya. Setelah bermain di sungai, biasanya mereka merasa lapar, sehingga mereka berinisiatif mencari makanan. Entah kenapa, mereka lebih memilih untuk mencari makanan sendiri di alam bebas, daripada memilih untuk makan di rumah walaupun orang tua mereka sudah menyediakannnya di rumah.
Saat itu, Sinta mempunyai ide untuk memetik jambu di pekarangan Bu Tukinah. Tentu saja setelah mendapat izin darinya. Seperti biasa, mereka memanjat dengan lihai. Karena, memanjat bukan hal baru lagi bagi mereka, juga bukan hal yang tak asing bagi mereka. Karena, tanpa bisa memanjat itu namanya bukan Iret yang sesungguhnya.
Mereka gerakkan kaki mereka dengan lincah pada batang pohon jambu milik Bu Tukinah. Setelah sampai di atas pohon, mereka mulai memetik jambu-jambu itu. Karena pohon jambunya cukup besar, jadi mereka menikmatinya dengan duduk di atas pohon jambu. Ketika Iret dan teman-temannya sudah mulai menikmati sensasi rasa jambu milik Bu Tukinah, tiba-tiba Ayah Iret datang. Dengan langkahnya yang cepat, dan mukanya yang menyeramkan. Terlihat di tangan kanannya membawa golok yang sangat tajam. Kemudian Ayah Iret memarahinya dari bawah sana. Mereka pun ketakutan. Dan, Iret pun turun dari atas pohon dan langsung berlari ke dalam rumah. Ari, Ayu, dan Shinta juga lari terbirit-birit sambil membawa jambu-jambu yang telah dipetiknya tadi.
Ayah Iret memang terkenal galak. Badannya hitam. Kumisnya yang tebal mendukung muka galaknya. Sementara itu, Iret juga sangat bandel. Walaupun sudah dilarang untuk memanjat pohon, tetapi Iret tetap melakukannya.
Keesokan harinya, seperti biasa setelah pulang sekolah, Iret, Ayu, Shinta, dan Ariy memulai petualangan mereka. Kali ini mereka pergi ke sawah. Di sawah, mereka hanya berjalan-jalan seperti “bolang” dan mereka juga mencari capung di sana. Sawahnya luas, dan dekat dengan sekolahan mereka. Di sana, mereka duduk sejenak di pinggir sawah untuk menikmati indahnya pemandangan. Hamparan sawah melegakan pikiran mereka, setelah pulang dari sekolah. Menurutnya, sekolah adalah tempat yang menyebalkan, tempat yang penat, dan seperti penjara yang terikat oleh banyaknya peraturan. Terkadang, bel istirahat dan bel pulang sekolah merupakan panggilan kebahagiaan untuk mereka, karena saat itu mereka bisa bermain dengan sepuasnya dan bisa mengekpresikan diri mereka. Bahagia dan lega yang mereka rasakan ketika mendengar suara bel istirahat dan bel pulang.
Padi-padi sudah menguning, dan sebentar lagi akan dipanen. Burung gereja banyak terlihat beterbangan di angkasa. Mereka terbang dengan lucu dan unik. Di sela-sela menikmati pemandangan, mereka juga menghayal tentang masa depan mereka. Mereka bercerita tentang cita-cita dan juga tentang pelajaran matematika yang sangat rumit untuk dipahami.
Setelah sore, mereka berencana untuk memetik mangga milik orang tua Ayu. Kebetulan pohon mangga itu terletak di atas kolam ikan. Dan, mereka memanjat dengan penuh semangat.
“Ayu, kamu duluan ya, yang manjat. Aku terakhiran aja.”, ucap Iret.
“Oke… J”, jawab Ayu.
Batang pohon mangga itu sangat licin. Memang, Iret sembunyi-sembunyi untuk memanjat pohon, agar tidak ketahuan oleh Ayahnya. Kalau Iret ketahuan memanjat pohon lagi, mungkin Iret akan dijadikan lauk untuk makan malam oleh Ayahnya. Tiba-tiba terdengar suara,
“Prak…………………………”
Ternyata Iret terpeleset. Semua mata teman-temannya tertuju pada Iret. Karena kurang hati-hati memanjat pohon, Iret terpeleset dan masuk ke kolam ikan. Teman-temannya langsung turun dan menolong Iret. Badannya berbau amis semua dan tangannya tertusuk sirip ikan. Memang, kolam ikan itu terletak di bawah persis pohon mangga, dan kebetulan ikannya besar-besar, hingga tangan Iret bedarah.
Dia merasa sangat kesakitan. Terlihat, air matanya keluar dari mata kecilnya. Bajunya basah. Tubuhnya kedinginan. Bajunya kotor. Dia terus menahan rasa perih itu. Teman-temannya kebingungan, dengan apa yang harus mereka perbuat.
Iret tidak berani langsung pulang. Akhirnya Iret mandi di rumah Ariy dan ia langsung mencuci baju yang tadi ia kenakan. Iret memakai baju Ayu. Dan Iret sangat takut. Karena, jika Iret pulang Iret pasti langsung dimarahi Ibunya. Apalagi, Iret teringat dengan Ayahnya yang super duper galak. Keadaan ini membuat Iret semakin bingung dan galau.
Akhirnya, Iret memberanikan diri untuk pulang pada waktu maghrib. Iret kemudian berterus terang kepada ibunya tentang apa yang telah terjadi pada dirinya. Sejak saat itu, Iret meminta maaf kepada ibunya dan akan menuruti segala apa yang akan diperintah oleh ibunya. Iret berjanji, tidak bandel lagi tidak lagi melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya. Dan gadis kecil itu akan berpikir berulang kali jika diperintah untuk memanjat pohon lagi. J